STUNTING, SAMA UMUR BEDA TINGGI
STUNTING, SAMA UMUR BEDA TINGGI

Ditulis oleh : dr. Ratna Yulianti, MM

TENTANG STUNTING 

Tahukah anda tentang Stunting ? Stunting merupakan suatu keadaan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendak atau pendek dibanding seusianya. Stunting merupakan kondisi serius yang terjadi saat seseorang tidak mendapatkan asupan gizi dalam jumlah yang tepat dan dalam waktu yang lama. Masalah kurang gizi dan stunting merupakan dua masalah yang saling berhubungan. Stunting pada anak merupakan dampak dari defisiensi nutrien selama seribu hari pertama kehidupan. Hal ini menimbulkan gangguan perkembangan fisik anak yang irreversible, sehingga menyebabkan penurunan performa kerja. Anak stunting memiliki rerata skor Intelligence Quotient (IQ) sebelas poin lebih rendah dibandingkan rerata skor IQ pada anak normal. Gangguan tumbuh kembang pada anak akibat kekurangan gizi bila tidak mendapatkan intervensi sejak dini akan berlanjut hingga dewasa. Ciri ciri anak dengan gejala stunting didapatkan pertumbuhan melambat, wajah tampak lebih muda dari usianya, pertumbuhan gigi melambat, tanda pubertas melambat dan anak ketika usia 8 – 10 tahun performanya lambat, pendiam dan jarang melakukan kontak mata.

Di Indonesia, stunting merupakan masalah gizi yang serius. Data Kementrian Kesehatan tahun 2018, tercatat sebanyak 3 dari 10 anak mengalami tubuh pendek. Ada 8 juta anak dengan pertumbuhan tidak maksimal. Hal ini merupakan ancaman utama terhadap kualitas masa depan manusia Indonesia, bukan saja bertubuh pendek / kerdil tetapi juga terhambat perkembangan otaknya. Sedangkan dampak jangka panjang dapat mempengaruhi kemapuan dan prestasi selama menjalani kegiatan pembelajaran sehingga produktivitas dan kreativitas juga terhambat. Kekebalan tubuh anak juga menurun sehingga mudah sakit dan menjadi risiko tinggi munculnya penyakit diabetes melitus, stroke, obesitas, kanker, jantung dan pembuluh darah. Stunting berkontribusi terhadap 15-17 % kematian anak di dunia. Jika mereka selamat, akan kurang berprestasi saat proses belajar dan saat dewasa menjadi kurang produktif. Penghasilan saat usia produktif berkurang, berada dalam garis kemiskinan, kurang berkontribusi terhadap perekonomian keluarga. Karena itu perlu mencegah stunting sejak dini, sejak pra konsepsi hingga usia balita.

FAKTOR RISIKO PENYEBAB STUNTING 

Stunting disebabkan faktor multi dimensi, berbagai faktor ini saling mempengaruhi. Bukan hanya karena faktor asupan gizi yang buruk pada ibu hamil atau balita saja, lingkungan pun juga berpengaruh pada kejadian stunting. Intervensi paling menentukan adalah pada seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK). Literatur lain menyebutkan, kejadian stunting sudah dimulai saat pra konsepsi, saat remaja calon ibu menderita anemia dan kurang gizi, asupan gizi kurang terpenuhi sesuai kebutuhan. 

Dari faktor ibu, kejadian stunting meningkat pada kondisi usia ibu saat hamil kurang dari 20 atau lebih dari 35 tahun, lingkar lengan atas ibu saat hamil lebih dari 23,5 cm atau menunjukkan Kurang Energi Kronis, kehamilan pada usia remaja, dan tinggi ibu yang kurang. Pada saat ibu pasca bersalin, inisisasi ASI dini tidak segera dilakukan, atau ASI eksklusif 0 – 6 bulan tidak maksimal diberikan. Perilaku pemberian MPASI dini sebelum usia 6 bulan, dan kualitas makanan yang kurang terkait asupan energi, protein, kalsium, zat besi, dan seng juga dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting. Days State of the World’s Mothers tahun 2012 menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh kondisi pada masa 1000 HPK yaitu mulai dari janin berada dalam perut atau ketika wanita dalam kondisi hamil sampai anak tersebut berusia 2 tahun. Pada masa 1000 HPK terjadi perkembangan otak atau kecerdasan dan pertumbuhan badan yang cepat. Bila tidak diberikan asupan gizi cukup pada ibu hamil, tidak diberikan ASI eksklusif, dan pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang kurang bergizi pada anak, maka berpotensi terjadinya stunting.

Selanjutnya faktor anak, kejadian stunting meningkat jika pada kondisi riwayat berat badan lahir rendah (BBLR) ataupun prematur, anak dengan jenis kelamin laki-laki, adanya riwayat penyakit neonatal, riwayat diare yang sering dan berulang, riwayat penyakit menular, dan anak tidak mendapat imunisasi. Periode emas pertumbuhan anak yaitu pada usia 0–24 bulan, anak mengalami pertumbuhan yang pesat sehingga asupan zat gizi pada masa tersebut sangat penting. Selama tahun pertama, berat badan bayi meningkat tiga kali lipat dibanding berat lahirnya dan 65% dari total pertumbuhan otak terjadi pada masa tersebut.

Lingkungan turut berperan dalam menimbulkan kejadian stunting, diantaranya status sosial ekonomi yang rendah, pendidikan keluarga yang kurang terutama ibu, pendapatan keluarga kurang, kebiasaan buang air besar di tempat terbuka seperti sungai atau kebun ataupun jamban yang tidak memadai, air minum yang tidak diolah, dan tingginya pajanan pestisida. Kebiasaan buang air besar di tempat terbuka telah terbukti berhubungan dengan peningkatan kejadian stunting. Hal ini disebabkan karena kotoran manusia dapat menjadi media bagi lalat ataupun serangga lainnya untuk menyebarkan bakteri pada peralatan rumah tangga terutama peralatan makan, sehingga berisiko menyebabkan diare. Diare berulang dan sering pada anak-anak dapat menyebabkan hilangnya nutrisi yang telah dan akan terserap oleh tubuh serta penurunan fungsi dinding usus untuk penyerapan nutrisi. Terjadi pertumbuhan bakteri patogen yang berlebihan pada saluran cerna karena infeksi, dan imun yang rendah saat diare. Selanjutnya probiotik yang ada di saluran cerna akan menurun, menyebabkan terjadinya inflamasi dan malabsorbsi zat gizi. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan populasi mikrobiota dalam saluran cerna dan meningkatkan risiko stunting.

Dari penyebab diatas, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah stunting dari saat remaja calon ibu, pra konsepsi, ibu hami, hingga anak lahir. Tidak hanya fokus pada asupan gizi, tetapi juga lingkungan perlu diperhatikan. 

BERSAMA UPAYA MENCEGAH STUNTING 

Stunting merupakan ancaman serius, perlu upaya bersama untuk menanggulangi masalah stunting. Usaha pemerintah untuk mencegah stunting meliputi berbagai sektor. Seperti kesehatan, pendidikan dan perumahan rakyat yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Tujuan program pencegahan stunting adalah agar anak Insonesia dapat tumbuh kembang secara optimal dan maksimal, memiliki kemampuan psikososial untuk belajar serta memiliki kemampuan berinovasi dalam kompetisi secara global. Berbagai intervensi yang dilakukan masyarakat dan pemerintah untuk mencegah stunting dengan sasarannya pada ibu hamil, ibu menyusui, anak usia 0 – 6 bulan, anak usia 7 – 24 bulan, dan bahkan remaja putri calon ibu, sangat intens dilaksanakan agar kejadian stunting menurun dari waktu ke waktu. Pentingnya edukasi pemenuhan kebutuhan gizi dan perubahan perilaku hygiene sanitasi yang bersih pada ibu hamil dan bayi balita, serta memastikan pertumbuhan bayi tetap baik mulai dari dalam kandungan sampai setelah lahir.

Ada 3 poin penting dalam pencegahan stunting yaitu pola pengasuhan yang baik, perbaikan terhadap pola makan ( gizi ) yang baik dan perbaikan sanitasi dan air bersih. Pola asuh anak adalah suatu proses yang ditujukan untuk meningkatkan serta mendukung perkembangan fisik, emosional, sosial, finansial, dan intelektual seorang anak sejak bayi hingga dewasa. Hal ini menjadi tanggungjawab orangtua sebab orangtua merupakan guru pertama untuk anak dalam mempelajari banyak hal, baik secara akademik maupun kehidupan secara umum. Stunting dipengaruhi oleh perilaku orang tua dalam hal pemberian makanan bagi bayi dan balita. Pola asuh yang baik dimulai dari edukasi pada remaja calon ibu tentang kesehatan reproduksi dan gizi bagi remaja sebagai cikal bakal keluarga. Agar nanti jika hamil paham pentingnya memenuhi zat gizi saat hamil dan memeriksakan kandungan ke fasyankes.

Berikutnya jika ibu bersalin, lakukanlah di fasilitas kesehatan dan segera melakukan inisiasi menyusu dini ( IMD ) agar bayi mendapatkan colostrum ASI. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan hingga 2 tahun. Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI ) dimulai dari usia 6 bulan dengan memenuhi kecukupan gizi yang seimbang, termasuk kandungan makronutrien dan mikronutrien. Membawa bayi ke posyandu untuk menimbang dan memantau tumbuh kembang bayi dan balita setiap bulan serta mendapatkan imunisasi lengkap bayi yang telah dijamin lengkap ketersediaanya dan keamanannya oleh pemerintah.

Pola makan yang sehat dimulai dari diterapkannya gizi seimbang yang dimulai dari keluarga. Gizi seimbang dengan istilah “Isi Piringku” diperkenalkan dan diterapkan dalam perilaku sehari hari. Isi piringku adalah istilah dimana dalam satu porsi piring terdapat separuh berisi buah dan sayur, serta separuhnya adalah makanan sumber protein baik dari protein hewani maupun nabati serta sumber karbohidrat. Batasi konsumsi bahan makanan manis, asin dan berlemak. Memperbanyak buah dan sayur serta lauk pauk berprotein tinggi. Selingi aktifitas dengan olahraga atau aktifitas fisik yang cukup. Selain pengaruh dari komposisi makronutrien, zat gizi mikro ( mikronutrien ) juga perlu diperhatikan seperti zat besi, zinc, vitamin A, beta karoten, beta glucan, iodium, selenium dan asam folat. Selingi aktifitas dengan olahraga atau aktifitas fisik yang cukup. Bijaksana jika sering membiasakan membaca label komposisi makanan dalam kemasan makanan olahan.

Poin ketiga, sanitasi yang baik dan diterapkan dalam perilaku anak dan keluarga merupakan upaya mencegah stunting. Memperbaiki sanitasi dan air bersih akan menjauhkan anak dari ancaman infeksi yang serius. Guna mewujudkan Indonesia bersih dan sehat, pemerintah terus berupaya mengupayakan akses air bersih, sarana sanitasi dan pengelolaan sampah terus ditingkatkan. Promosi kesehatan lingkungan dengan mensosialisasikan 5 pilar STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yaitu Stop BAB sembarangan, cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir, pengelolaan air minum rumah tangga, pengelolaan sampah rumah tangga, pengelolaan limbah rumah tangga.

Ketiga poin di atas menjadi tanggung jawab bersama sebagai upaya menanggulangi masalah stunting, Bukan hanya beban pemerintah, tetapi berbagai sektor termasuk juga keluarga. Seperti LIPI yang mengembangkan teknologi biofortifikasi pangan, yang bertujuan meningkatkan konsentrasi zat mikronutrien dalam bahan pangan padi singkong, jagung, umbi umbian. Misalnya pengembangan padi kaya beta glucan, padi kaya Fe beta glucan dan Zinc, serta singkong kaya beta karoten. Teknologi ini dilakukan melalui proses budidaya tanaman dan intervensi agronomi, tanaman tersebut dapat mengandung unsur zat mikronutrien. Sangat dibutuhkan inovasi lanjut dan pengembangan teknologi pangan yang dapat meningkatkan konsentrasi zat mikro namun memiliki peran penting dalam mencegah stunting. Peran peneliti, akademis, lembaga masyarakat, fasilitas pelayanan kesehatan, instansi pemerintah yang terkait penanggulangan stunting, semua bersinergi mencegah stunting sejak dini. Semoga bermanfaat 

Referensi :

1. Atmarita, 2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI

2. Buku Saku Desa dalam Penanggulangan Stunting

3. Meadow, R., & Newell, S. (2005). Lecture Notes Pediatrika Edisi Ketujuh. Jakarta. Erlangga Medical Series.

4. Novita Nining, dkk. 2018. Keragaman Pangan, Pola Asuh Makan dan Kejadian Stunting pada balita usia 24-59 bulan. Jurnal Gizi Indonesia. 2018

5. Nurmalasari, Nur Oktavia.2020. Stunting pada Anak: Penyebab dan faktor risiko Stunting di Indonesia. Journal Qawwam. Vol 14. No 1. Hal 19 – 28.  

6. Setiawan, Budi. 2018. Faktor-faktor Penyebab Stunting pada Anak Usia Dini.